Sesungguhnya penafsiran shahabat mempunyai keistimewaan yang lebih dibandingkan dengan penafsiran generasi setelahnya, diantaranya adalah :
1. Al Qur’an turun dengan bahasa mereka.
Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآناً عَرَبِيّاً لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa arab agar kamu memahaminya.” (Yusuf : 2).
Para shahabat adalah generasi yang paling fashih dalam bahasa arab sehingga mereka lebih memahami makna-makna yang terkandung dalam Al qur’an.
2. Mereka langsung menyaksikan turunnya Al qur’an.
Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata: “Demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak disembah selain-Nya, tidak ada satu ayatpun yang turun di dalam kitabullah kecuali saya mengetahui kepada apa ia turun dan dimana turunnya, kalaulah aku mengetahui ada seseorang yang lebih mengetahui kitabullah dariku yang dapat ditempuh oleh unta, niscaya aku akan mendatanginya.”
Orang yang langsung menyaksikan tentu lebih faham karena ia mengetahui peristiwa dan kejadian ketika turunnya Ayat-ayat Al Qur’an, sehingga lebih mampu memahami makna yang diinginkan dari ayat tersebut.
3. Mereka langsung mengambil tafsir Al Qur’an dari mulut Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang suci.
Abu Abdirrahman As Sulami berkata,”Telah bercerita kepada kami orang-orang yang mengajarkan kami Al Qur’an bahwa dahulu mereka apabila mempelajari sepuluh ayat Al Qur’an dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka tidak menambah lagi sampai mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya dari amal, maka kamipun mempelajari Al Qur’an dan amal semuanya.” (HR Ath Thabari).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebaik-baiknya guru maka para shahabat adalah sebaik-baiknya murid, mereka mendapatkan bimbingan langsung dari Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga pastilah mereka lebih faham dibandingkan generasi setelahnya.
4. Mereka langsung melihat praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Al Qur’an.
Aisyah radliyallahu ‘anha berkata,”Akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Al Qur’an.” (HR Ahmad).
Merekapun menyaksikan bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sholat, zakat, berpuasa, berhaji, dan perintah-perintah Al Qur’an lainnya, dan ini juga keistimewaan yang hanya dimiliki oleh generasi shahabat saja.
5. Allah dan Rosul-Nya memuji para shahabat.
Banyak pujian di dalam Al Qur’an terhadap para shahabat seperti firman Allah Ta’ala :
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْه
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) diantara Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridla kepada mereka dan merekapun ridla kepada Allah.” (At Taubah : 100).
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata,”Allah Ta’ala memuji orang yang mengikuti para shahabat; maka apabila para shahabat berpendapat dengan sebuah pendapat lalu diikuti oleh seseorang sebelum mengetahui kebenaran pendapatnya berarti ia telah mengikuti mereka, maka pasti orang tersebut terpuji dengan perbuatannya itu dan berhak mendapatkan keridoan Allah.”[1]
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun memuji shahabat, beliau bersabda :
النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لأَصْحَابِى فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِى مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِى أَمَنَةٌ لأُمَّتِى فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِى أَتَى أُمَّتِى مَا يُوعَدُونَ
“Bintang adalah amanah untuk langit, apabila bintang telah pergi maka datang kepada langit apa yang dijanjikan kepadanya, aku adalah amanah untuk para shahabatku, apabila aku telah pergi datang kepada shahabatku apa yang dijanjikan kepada mereka, dan shahabatku adalah amanah untuk umatku, apabila shahabatku telah pergi datang kepada umatku apa yang dijanjikan kepada mereka.” (HR Muslim[2]).
Di dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa bintang adalah amanah untuk langit, lalu beliau menyebut dirinya dan para shahabatnya bagaikan bintang dan di dalam Al Qur’an bintang mempunyai tiga fungsi yaitu sebagai penunjuk jalan, sebagai penghias langit, dan sebagai pelempar setan. Maka para shahabat adalah penunjuk jalan bagi umat islam dalam memahami Al Qur’an dan sunnah, mereka adalah hiasan bagi umat islam, dan pelempar syubhat setan yang merusak aqidah dan pemikiran umat islam.
Ini adalah keistimewaan-keistimewaan yang hanya dimiliki oleh generasi shahabat, maka sudah semestinya kita tidak boleh menyimpang dari penafsiran mereka, syaikhul islam ibnu Taimiyah berkata: “Barang siapa yang menyimpang dari madzhab shahabat dan Tabi’in dan penafsiran mereka maka ia telah salah bahkan berbuat bid’ah walaupun ia mujtahid yang diampuni dosanya.”[3]
Kaidah-kaidah penting
Ada beberap kaidah penting yang berhubungan dengan tafsir para shahabat yang mesti kita ketahui, diantaranya adalah :
Kaidah pertama : Perselisihan shahabat dalam tafsir kebanyakan adalah perselisihan yang bersifat variatif.
Syaikhul islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Perselisihan diantara salaf dalam tafsir adalah sedikit, dan perselisihan mereka di dalam hukum lebih banyak dari perselisihan mereka di dalam tafsir, dan mayoritas perselisihan yang shahih dari mereka adalah dari jenis perselisihan tanawwu’ (pariatif) bukan perselisihan tadlod (kontradiktif). Dan ia ada dua :
Pertama : Setiap mereka mengungkapkan dengan ungkapan yang berbeda dengan ungkapan temannya yang menunjukkan kepada makna yang berbeda dengan makna temannya namun maksudnya adalah satu.
Contohnya adalah perbedaan ungkapan mereka dalam menafsirkan “Shirotul mustaqim” sebagian mereka menafsirkan bahwa ia adalah Al Qur’an dan sebagian mereka menafsirkan bahwa ia adalah islam. Dua penafsiran ini tidak bertentangan karena agama islam adalah mengikuti Al Qur’an.. demikian pula orang yang menafsirkan bahwa ia adalah sunnah dan jama’ah, atau jalan ubudiyah, atau ketaatan kepada Allah dan Rosul-Nya, mereka semua mengisyaratkan kepada satu dzat akan tetapi setiap mereka memberikan sifat yang berbeda dengan sifat yang yang diberikan oleh orang lain.
Kedua : Setiap mereka menyebutkan sebagian jenis dari nama yang umum dalam rangka memberikan contoh/permisalan bukan dalam rangka memberikan definisi atau batasan dalam keumuman dan kekhususannya.
Contohnya adalah penafsiran mereka mengenai firman Allah Ta’ala :
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِير
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan idzin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Fathir 32).
Dan telah diketahui bahwa orang yang menzalimi dirinya mencakup orang yang menyia-nyiakan kewajiban dan melanggar keharaman. Dan yang pertengahan mencakup melakukan kewajiban dan meninggalkan keharaman dan As Sabiq (orang yang mendahului) mencakup orang yang mendekatkan diri dengan hasanat selain kewajiban yang ia lakukan.
Kemudian setiap mereka menyebutkan ini pada salah satu macam dari macam-macam ketaatan, seperti perkataan seseorang: “As Sabiq adalah yang sholat di awal waktu, dan yang pertengahan adalah orang yang sholat di dalam waktunya, dan zalim adalah orang yang mengakhirkan sholat ashar sampai matahari menguning.”[4]
Kaidah kedua : Pendapat seorang shahabat yang tidak diketahui adanya penyelisihan dari shahabat lain adalah hujjah.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Apabila pendapat seorang shahabat tidak diselisihi oleh shahabat lain maka (tidak lepas dari dua keadaan) (1) pendapat tersebut terkenal di kalangan shahabat atau (2) tidak terkenal. Apabila terkenal maka myoritas fuqoha menyatakan bahwa ia adalah ijma’ dan hujjah dan sebagian fuqoha berpendapat bahwa ia adalah hujjah namun bukan ijma’.
Dan apabila tidak terkenal atau tidak diketahui apakah ia terkenal atau tidak, maka para ulama berbeda pendapat apakah ia hujjah atau bukan; pendapat mayoritas ulama bahwa ia adalah hujjah, ini adalah pendapat mayoritas hanafiyah sebagaimana yang dinyatakan oleh Muhammad bin Al Hasan dan ia juga menyebutkan nash dari perkataan Abu Hanifah, dan ini juga pendapat Malik dan pengikutnya, dan ini juga pendapat Ishaq bin Rohawaih dan Abu Ubaid dan ini juga yang dinyatakan oleh imam Ahmad dalam beberapa tempat dan dipilih oleh mayoritas pengikutnya, dan ini juga yang dinyatakan oleh imam Asy Syafi’I dalam qoul (pendapat) dahulu dan barunya… imam Syafi’I dalam pendapat barunya menyatakan dengan tegas dari riwayat Rabie’ dari beliau bahwa pendapat shahabat adalah hujjah yang harus dipegang.
Imam Asy Syafi’I berkata: “Pendapat shahabat apabila berselisih kami pegang yang sesuai dengan Al Qur’an dan sunnah atau ijma’ karena sesuai dengan qiyas, dan apabila pendapat shahabat itu tidak diketahui adanya penyelisihan maka aku tetap mengikuti pendapatnya apabila aku tidak menemukan Al Qur’an tidak juga dalam As Sunnah atau ijma’ tidak juga yang semakna dengannya yang bisa dijadikan hukum atau ditemukan qiyas bersama pendapat tersebut.”[5]
Kaidah ketiga : Penafsiran shahabat yang tidak dikenal suka mengambil dari Ahli kitab yang bukan dalam tempat ijtihad tidak pula penukilan dari bahasa arab hukumnya adalah marfu’.
Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman hafidzahullah berkata: “Sesungguhnya perkataan shahabat yang tidak dikenal suka mengambil dari Ahli Kitab dan bukan berasal dari ro’yu, seperti pengabaran tentang sesuatu yang ghaib maka ia dihukumi marfu’ sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, walaupun shahabat itu tidak menyatakan penisbatannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti perkataan shahabat mengenai tanda-tanda hari kiamat, adzab qubur, tentang surga dan Neraka, dan sebab turunnya ayat dari shahabat yang tidak suka mengambil dari Ahli kitab seperti ibnu Mas’ud, Umar dan lainnya jika mereka mengatakan seuatu perkataan yang tidak mungkin diketahui dari ijtihad atau akal, maka perkataan seperti ini adalah hujjah yang dihukumi marfu’.
Bahkan Al Hakim dalam kitabnya “Ulumul hadits” memasukkan penafsiran shahabat dalam hukum marfu’ namun pendapat ini tidak benar, Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah memberikan koreksi terhadap pendapat tersenut dalam kitab “An Nukat ‘ala ibnu Sholah” (2/20) beliau berkata: “Yang benar bahwa batasan penafsiran shahabat jika termasuk perkara yang bukan lapangan ijtihad tidak pula dinukil dari lisan arab maka hukumnya adalah marfu’ dan jika tidak demikian maka tidak, seperti pengabaran tentang kabar umat terdahulu…”.
Beliau berkata lagi: “Adapun apabila penafsiran itu berhubungan dengan hukum syari’at, boleh jadi tafsir itu diambil dari Nabi shallallahu ‘alahi wasallam dan bisa juga dari kaidah-kaidah sehingga tidak bisa dipastikan kemarfu’annya, demikian juga penafsiran tentang kosa kata, maka ini adalah penukilan tentang lisan arab secara khusus sehingga tidak dipastikan kemarfu’annya, dan pendapat yang kami perinci ini yang dijadikan sandaran banyak ulama-ulama besar.”[6]
Kaidah keempat : Apabila para shahabat berbeda pendapat menjadi dua pendapat misalnya maka tidak boleh kita mengadakan pendapat yang ketiga.
Syaikhul islam ibnu Taimiyah ketika menyebutkan kesalahan-kesalahan dalam menafsirkan Al Qur’an beliau berkata: “Yang paling besar kesalahannya dari mereka semua adalah orang yang maksud tujuannya adalah bukan untuk mengetahui apa yang Allah inginkan, akan tetapi tujuannya adalah menta’wil ayat untuk membantah lawannya yang berhujah dengan ayat tersebut, dan mereka jatuh ke dalam berbagai macam tahrif (merubah-rubah Al Qur’an) sehingga diantara mereka ada yang membolehkan menafsirkan ayat dengan penafsiran yang berlawanan dengan tafsir salaf, mereka berkata,”Apabila manusia (shahabat) berselisih dalam menafsirkan ayat menjadi dua pendapat maka boleh bagi orang setelahnya untuk mengadakan pendapat yang ketiga, berbeda bila mereka berselisih dalam sebuah hukum menjadi dua pendapat.
Ini adalah sebuah kesalahan, karena mereka (para shahabat) apabila bersepakat bahwa makna sebuah ayat adalah ini atau ini, maka pendapat yang mengatakan bahwa maksud ayat itu selain dua tadi berarti ia telah menyelisihi ijma’ (kesepakatan) mereka. Inilah tata cara orang yang maksudnya hanya untuk membantah bukan dalam rangka mengetahui apa yang diinginkan oleh ayat tersebut, jika tidak demikian maka bagaimana umat (para salaf) akan sesat dalam memahami Al Qur’an dan penafsiran mereka semua tidak benar, lalu orang-orang yang terakhir mengetahui makna yang diinginkan ?![7]
Abul Mudzofar As Sam’ani berkata: “Yang shahih adalah haram mengadakan pendapat yang ketiga, karena ijma’ mereka diatas dua pendapat adalah ijma untuk mengharamkan pendapat selainnya, dan kita tidak boleh menyelisihi ijma’ diatas satu pendapat karena ia mengandung pengharaman pendapat selainnya, demikian juga ijma’ mereka di atas dua pendapat juga mengandung pengharaman pendapat selainnnya.
Dan yang menunjukkan kepada pendapat ini juga adalah adakan pendapat yang ketigatang orang-orang yang terakhir mengetahui an sesat dalam memahami Al Qur’etahui gadabahwa kebenaran tidak akan keluar dari ijma’, kalaulah diperbolehkan mengadakan pendapat yang ketiga yang tidak diyakini oleh mereka (kedua pendapat tadi) berarti kebenaran telah keluar dari pendapat mereka, sehingga boleh jadi kebenaran itu ada pada pendapat yang ketiga dan ini jelas membatalkan ijma’.”[8]
Kaidah kelima : Penafsiran shahabat apabila bertentangan dengan penafsiran Rosulullah maka dikompromikan terlebih dahulu, bila tidak bisa maka penafsiran Rosulullah lebih didahulukan.
Syaikh Muhamad bin Jamil Zainu berkata: “Apabila tafsir hadits bertentangan dengan penafsiran shahabat atau tabi’in, maka kita harus mengkompromikan dua penafsiran tadi, dan jika tidak memungkinkan maka yang wajib adalah mendahulukan penafsiran Rosul shallallahu ‘alaihi wasallam karena beliau lebih mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah Ta’ala. Contohnya adalah tafsir firman Allah Ta’ala :
يوم يكشف عن ساق
“Pada hari disingkapkannya betis.” (Al Qolam : 42).
Imam Bukhari menafsirkan ayat itu dengan hadits :
يَكْشِفُ رَبُّنَا عَنْ سَاقِهِ فَيَسْجُدُ لَهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ وَمُؤْمِنَةٍ
“Rabb kita menyingkapkan betisnya, maka sujudlah kepada-Nya semua mukmin dan mukminah.” (HR Bukhari).[9]
Namun dalam sebuah riwayat, ibnu Abbas menafsirkan bahwa maknanya adalah hari yang amat susah, jika riwayat ini shahih[10] tidaklah bertentangan dengan hadits itu, maka maknanya adalah bahwa pada hari kiamat Allah menyingkapkan betisnya dan hari itu adalah hari yang amat susah, atau mungkin kita katakan bahwa ibnu Abbas belum sampai kepadanya hadits Abu Sa’id Al Khudri tadi.”[11]
Kaidah keenam : Memeriksa keabsahan riwayat tafsir shahabat.
Contohnya adalah tafsir firman Allah Ta’ala :
ولا جنبا إلا عابر سبيل
“Tidak juga orang yang junub kecuali yang menyeberang jalan.” (An Nisaa : 43).
Ibnu Abbas dalam sebuah riwayat menafsirkan maknanya adalah Kecuali engkau melewat di masjid, namun riwayat ini dla’if karena di dalamnya ada perawi yang bernama Abu Ja’far Ar Razi, ia lemah. Demikian pula ibnu mas’ud menafsirkannya dengan penafsiran ibnu Abbas tadi akan tetapi sanadnya juga lemah karena ia diriwayatkan dari jalan Abi Ubaidah dari ibnu Mas’ud, sedangkan Abu Ubaidah tidak mendengar dari ibnu Mas’ud sehingga sanadnya terputus.
Dan tentunya kritik sanad haruslah sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiyah dalam ilmu hadits dan tidak boleh dimasuki oleh hawa nafsu, karena banyak tafsir shahabat yang dianggap lemah karena tidak sesuai dengan hawa nafsu, contohnya adalah tafsir ibnu Abbas terhadap ayat “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka ia termasuk orang-orang kafir.” (Al Maidah : 44), Bahwa kufur di dalam ayat ini maksudnya adalah kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari millah islam ia adalah kufur dibawah kufur. Riwayat ini dilemahkan oleh kaum khowarij di zaman ini, padahal riwayat ibnu Abbas ini adalah shahih, penjelasannya sebagai berikut :
Bahwa atsar tersebut diriwayatkan dari dua jalan ; jalan Thowus dari Ibnu ‘Abbas dan Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu Abbas.
Adapun jalan thowus diriwayatkan oleh Ahmad dalam al iman (4/160/1416 dicetak dalam assunnah oleh Abu Bakar Al Khollal) Muhammad bin Nashr Al Marwazi dalam ta’dhim qodr sholah (2/521/569), Ibnu ‘Abdil Barr dalam attamhid (4/237), Al Hakim (2/313) dan lainnya dari jalan Sufyan bin Uyainah dari Hisyam bin Hujair dari Thowus dari Ibnu ‘Abbas. Al Hakim berkata :” Hadits shohih sanadnya dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim “. Dan disepakati oleh Adz Dzahabi. Syeikh Al Bani berkata :” hak keduanya untuk berkata : sesuai dengan syarat syaikhoin, karena sanadnya demikian… (silsilah shohihah 6/113). Akan tetapi di dalam sanadnya ada Hisyam bin Hujair, ia diperbincangkan oleh para ulama, kata Ibnu Syubrumah :” Tidak ada di makkah orang seperti dia “. Kata Al Ijli :” Tsiqoh “. Kata Ibnu Ma’in :” Sholih”. Kata Abu Hatim :” Yuktabu haditsuhu “. Kata Ibnu Sa’ad :” Tsiqoh lahu ahadiits “. Kata Ibnu Syahin :”tsiqoh”. Kata As Saji :” Shoduq “. Kata Adz Dzahabi :” Tsiqoh”. Kata Al Hafidz :” Shoduq lahu auham “. Dan di dlo’ifkan oleh Yahya Al Qoththon, imam Ahmad dan Ibnu Ma’in dalam satu riwayat. Sementara Bukhari dan Muslim berhujjah dengannya di dalam shahihnya.
Kesimpulannya bahwa Hisyam bin hujair adalah shoduq dan haditsnya hasan, akan tetapi ia tidak sendirian, tapi di mutaba’ah oleh Abdullah bin Thowus seorang rawi yang tsiqoh dari ayahnya dari Ibnu ‘Abbas dengan lafadz :” ia adalah kufur, akan tetapi tidak seperti kufur kepada Allah dan hari akhirat “. Dikeluarkan oleh Sufyan Ats Tsauri dalam tafsirnya (101/241). Adapun yang dikatakan muhaqqiq Sunan Sa’id bin Manshur bahwa terputus antara Sufyan dan Ibnu Thowus, maka itu sebuah kesalahan besar, karena Sufyan mendengar dari Ibnu Thawus dan riwayatnya ada dalam shohih Muslim, dan Sufyan terkadang meriwayatkannya dari Ma’mar dan terkadang dari Ibnu thowus secara langsung. Jadi kesimpulannya sanad ini shohih ditambah dengan mutaba’ah tadi.
Adapun jalan Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu ‘Abbas diriwayatkan oleh Ath Thobari dalam Jami’I al bayan (6/166) dari Al Mutsanna bin Ibrohim Al Amili dan Abu Hatim Ar Rozi dari Abdullah bin Sholih dari Mu’awiyah bin Sholih dari Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu Abbas ia berkata :” Barang siapa yang juchud kepada apa yang Allah turunkan maka ia kafir dan barang siapa yang mengakuinya tapi tidak berhukum dengannya maka ia dzolim dan fasiq “. Dan ini adalah sanad yang hasan, dan sebagian orang ada yang menganggapnya cacat dengan alasan bahwa Ali bin Abi tholhah tidak bertemu dengan Ibnu Abbas, akan tetapi telah dijawab oleh banyak ulama diantaranya adalah As Suyuthi dalam al itqon (2/188) ia berkata :” berkata suatu kaum bahwa Ibnu Abi Tholhah tidak mendengar tafsir dari Ibnu Abbas, tapi ia mengambilnya dari Mujahid atau Sa’id bin Jubair, Al Hafidz Ibnu hajar berkata :” Setelah diketahui perantaranya yang ternyata tsiqoh maka hal tersebut tidak berbahaya “.
Adapun Abdullah bin Sholih walaupun ia mukhtalith di akhir ahayatnya, akan tetapi Al Hafidz Ibnu hajar menyatakan bahwa riwayat Abu Hatim darinya sebelum terjadi takhlit, sehingga riwayatnya shohih.(lihat Hadyu saari hal 414).
Maka tidak ragu lagi atsar tersebut semakin jelas keshohihannya lebih-lebih ditambah dengan jalan thowus tadi, dan dikuatkan lagi oleh atsar dari Tabi’in besar yaitu Atho bin Abi Robah yang dishohihkan oleh Syeikh Al bani dalam silsilah shohihah (6/114) dan para ulama hadits terdahulu dan sekarang kecuali orang yang jahil terhadap ilmu hadits telah menshohihkan atsar tersebut, diantaranya adalah : Al Hakim dalam mustadrok (2/393), Al Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya (2/64), Ath Thobari dalam jami’nya (6/166-167), Imam Muhammad bin Nashr Al Marwazi dalam ta’dzim qodrish sholah (2/520), Al Baghowi dalam ma’alim tanzil (3/61), Al Qurthubi dalam tafsirnya (6/190), Al buqo’I dalam nadzmud duror (2/460), Shiddiq hasan Khon dalam nailul marom (2/472), Al Qosim bin Sallam dalam al iman (hal 45), Abu Hayyan dalam al bahrul muhith (3/492), Ibnu Baththoh dalam al ibanah (2/723), Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (4/237), Al Qosimi dalam mahasin at takwil (6/1998), Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ fatawa (7/312) (7/522), Ibnul Qoyyim dalam madarijussalikin (1/335-336), syeikh Al Bani dalam silsilah shohihah (6/109-116) dan ulama lainnya lebih dari 23 ahli hadits.[12]
Kaidah ketujuh : Tidak boleh mengadakan penafsiran yang tidak pernah difahami oleh salafusshalih.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata di dalam Mukhtashar Ash Showa’iq Al Mursalah 2/128 : “Sesungguhnya mengadakan sebuah pendapat dalam menafsirkan kitabullah yang bertentangan dengan penafsiran salaf dan para imam berkonskwensi dua perkara : Boleh jadi pendapat tersebut salah atau penafsiran salaf dan para imam yang salah !! tentu orang yang berakal tidak akan merasa ragu bahwa pendapat tersebut lebih layak salah dari penafsiran salaf dan para imam.”[13]
Al Hafidz ibnu Abdil Hadi dala kitab Ash Shorim Al Munakki hal 427 berkata: “Tidak boleh mengadakan penafsiran ayat atau hadits yang tidak ada di zaman salaf yang tidak mereka ketahui tidak juga mereka jelaskan kepada umat, karena sikap seperti itu mengandung kesan bahwa mereka tidak mengetahui kebenaran dan telah tersesat jalan lalu datang orang terakhir mengetahui kebenaran tersebut.”
Diantara contoh penafsiran yang tidak pernah difahami oleh salafushalih adalah penafsiran mengenai firman Allah Ta’ala :
كنتم خير أمة أخرحت للناس
“Kamu adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan kepada manusia.” (Ali Imran : 110).
Kata “ukhrijat” (dikeluarkan) ditafsirkan dengan makna sebuah tata cara dakwah ke masjid-masjid selama tiga hari atau tujuh hari atau empat puluh hari dan seterusnya, dan penafsiran seperti ini tidak pernah dikenal oleh para ulama terdahulu, tidak juga di dapati di dalam kitab-kitab tafsir, kalaulah itu baik tentu merekalah yang pertama kali mengamalkannya.
[1] I’lamul muwaqqi’in hal 846 tahqiq Raid bin Sobri.
[2] Muslim 4/1961 no 2531.
[3] Majmu’ fatawa 13/361.
[4] Majmu’ fatawa 13/333-337 dengan ringkas.
[5] I’lamul muwaqi’in 548-551 tahqiq Syaikh Msyhur Hasan Salman, secara ringkas.
[6] At Tahqiqot wattanqihat hal 435-436.
[7] Majmu’ fatawa 15/95.
[8] Qowathi’ adillah 2/18 cet. Darul kutub ilmiyah.
[9] Bukhari no 4919.
[10] Riwayat itu didla’ifkan oleh syaikh Salim dalam kitab Al Minhal Ar Raqraq karena ia adalah riwayat yang mudltharib.
[11] Kaifa nafhamul qur’an hal 12-13.
[12] Dirujuk kitab Qurrotul ‘uyun karya Syaikh Salim Al hilali.
[13] Lihat ilmu ushul bid’a hal 142.